Jangan Baca Buku

Ikram Kiranawidya
6 min readSep 27, 2020

--

Tunggu! Jangan marah dulu! Saya menulis topik ini bukan untuk melarang teman-teman untuk membaca, tapi untuk menjelaskan bahayanya toxic reminder yang akhir-akhir ini kembali menjadi tren di komunitas pembaca Twitter atau book twitter / booktwt.

Mungkin teman-teman sering melihat pengingat seperti; ayo, dibaca bukunya! atau yuk, balik baca buku, yuk! benar? Pengingat-pengingat seperti ini mungkin sering muncul di linimasa media sosial teman-teman. Pada awalnya, saya sendiri tidak terlalu peduli dengan pengingat seperti ini, karena memang maksudnya pun baik — bahwa saya harus kembali membaca buku yang belum saya selesaikan. Namun akhir-akhir ini, saya merasa pengingat ini justru menjadi sesuatu yang memberikan dampak negatif.

Mari kita tinjau kembali kondisi linimasa akhir-akhir ini. Apa teman-teman familiar dengan kalimat-kalimat dibawah ini?

  • Main Twitter emang enak, tapi tumpukan buku masih banyak. Ayo baca buku lagi!
  • Kalian yang pada beli buku tapi ngga mau dibaca tuh kenapa sih? Baca dong!
  • Buku itu dibeli buat dibaca.
  • Goleran terus, baca bukunya kapan?

Sampai disini, saya merasa reminder ini bukan lagi menjadi pengingat melainkan menjadi sebuah sindiran karena seseorang tidak membaca. Fenomena ini sebenarnya mirip dengan toxic productivity, yaitu kondisi dimana seseorang memiliki dan mendapatkan tekanan untuk tetap produktif, tidak peduli emosi yang ia sedang rasakan. Kenapa saya bilang serupa? Sebab, sindiran-sindiran tersebut sama saja seperti menyuruh seseorang untuk tetap membaca, terlepas dari kondisi mereka masing-masing. Reminder ini juga mengingatkan saya akan meme sekadar mengingatkan, karena walau niatnya mengingatkan, tapi eksekusinya sedikit menyebalkan.

Seperti yang saya jelaskan pada artikel saya sebelumnya, memang betul kewajiban seorang pembaca adalah membaca — namun bukan berarti teman-teman harus selalu membaca setiap saat. Membaca seharusnya menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan, bukan sesuatu yang membuat beban, tentu saja sindiran-sindiran diatas bertabrakan dengan poin saya yang satu ini. Begitu pula dengan hobi membeli dan menimbun, sama yang seperti sudah saya bahas dua hari yang lalu, membaca, membeli, dan mengoleksi buku adalah tiga aktivitas berbeda. Mereka saling berhubungan, tapi bukan berarti mereka serupa.

Lalu, kenapa pengingat ini menjadi toxic dan justru membawa perasaan negatif bagi yang membaca?

Menghakimi pembaca karena tidak membaca

Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Memang pada awalnya, mengingatkan seseorang untuk membaca terkesan positif, namun begitu diikuti oleh kalimat-kalimat sindiran, tentunya memberikan makna yang berbeda. Mengingatkan seseorang untuk membaca ketiban melakukan kegiatan lain adalah suatu tindakan penghakiman terhadap pembaca, seolah-olah pembaca layak dibuat bersalah dan malu karena tidak membaca.

Padahal, akan ada waktu dimana seorang pembaca tidak memiliki energi atau kesiapan mental untuk membaca — dan hal ini sangat wajar terjadi dan tidak ada salahnya pula. Teman-teman pastinya pernah merasa sangat lelah sehingga memilih untuk melakukan aktivitas yang tidak menguras energi, seperti menonton serial drama Korea atau beristirahat. Percayalah, tidak ada salahnya.

Membuat seseorang merasa bersalah atas hal yang membuat mereka bahagia

Photo by cottonbro from Pexels

Seringkali teman-teman pembaca mengeluh bahwa beberapa orang membuat mereka merasa bersalah karena sudah membeli atau menimbun buku — termasuk saya pribadi. Ketika seseorang menyalahkan saya atas hal yang membuat saya bahagia, tentunya secara tidak disadari akan menanamkan perasaan bersalah setiap kali melakukan hal tersebut.

Diluar kegiatan membeli dan menimbun buku, terkadang seorang pembaca akan merasa lebih bahagia ketika mereka memanfaat waktu untuk beristirahat dari kegiatan baca-membaca. Saya rasa, setiap orang memiliki cara mereka masing-masing untuk re-charge diri sendiri. Jika tidak membaca buku adalah salah satu caranya, kenapa kita harus menyalahkan mereka yang merasa demikian?

Tidak menghargai ranah pribadi orang lain

Photo by Ketut Subiyanto from Pexels

Menurut saya, bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uang mereka termasuk dari ranah pribadi seseorang. Menyentil mereka karena menghabiskan waktu atau uang dengan hal-hal diluar membaca buku adalah tindakan yang kurang sopan. Pertama, kita tidak ada hak untuk mengatur bagaimana seseorang harus menghabiskan waktu dan uang mereka. Kedua, dua hal ini bukan sesuatu yang harus kita ikut campuri.

Tidak perlu basa-basi, but I think you should mind your business. Tentunya tidak ada orang yang nyaman ketika seseorang menanyakan pendapatan dan pengeluaran mereka dalam sebulan. Hak setiap orang untuk melakukan apapun yang mereka inginkan selagi tidak merugikan banyak orang.

Merendahkan pembaca lain

Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

“Kok merendahkan? Kan dia cuman ngingetin?”

Ada yang ingat meme, maaf, hanya sekadar mengingatkan? Yap, kalimat itu seringkali digunakan ketika seseorang yang baru saja mendapatkan pencerahan spiritual menegur saudaranya yang berbuat kesalahan. Alih-alih mengingatkan, mereka justru menganggap dirinya lebih baik dari orang yang mereka tegur.

Hmmm, kok familiar… ah, ternyata di komunitas pembaca kedok ini sudah berubah menjadi baca bukunya ketimbang main Twitter… maaf hanya sekadar mengingatkan.

Poin saya adalah, terkadang kalimat yang dilontarkan setelah pengingat ini seringkali diikuti dengan sindiran yang merendahkan pembaca lain. Seolah-olah yang mereka lebih baik daripada pembaca lain karena mereka membaca buku dan tidak melakukan aktivitas lainnya.

Padahal membaca bukan lah aktivitas wah yang patut diistimewakan. Justru membaca seharusnya menjadi kegiatan basic seseorang, namun karena tidak semua orang dapat membaca dan mengakses buku, saya mengerti kenapa membaca dan memahami buku adalah kegiatan yang dianggap kegiatan orang-orang pintar.

Jadi, terlepas reminder tersebut, jangan baca buku, apabila…

  1. Teman-teman tidak memiliki energi untuk membaca. Baik secara fisik atau mental. Biarkan pikiran dan tubuhmu beristirahat, tidak ada salahnya untuk tidak membaca buku.
  2. Teman-teman tidak memiliki waktu. Dua orang teman saya kemarin menambahkan masukan bahwa memiliki waktu untuk membaca adalah privilese, dan saya setuju. Jika memang tidak memiliki atau belum bisa membagi waktu untuk membaca, tidak ada salahnya.
  3. Teman-teman hanya ingin bersantai dan menghabiskan waktu dengan aktivitas yang tidak produktif. Mungkin teman-teman pernah mendengar beberapa orang mengatakan bahwa tidak apa-apa untuk tidak produktif dan fokus terhadap kesehatan mental ketika masa pandemi, nah, hal ini juga berlaku untuk aktivitas membacamu. Tidak ada salahnya untuk menjaga kesehatan mental dan jasmani terlebih dahulu baru membaca. Pemikiran untuk selalu membaca adalah pikiran yang dapat memberikan dampak negatif terhadap diri sendiri.
  4. Teman-teman tengah mengalami reading slump. Mungkin di lain kesempatan, saya akan berbicara soal reading slump. Yang terpenting, selama mengalami reading slump, jangankan paksakan diri untuk membaca jika memang tidak ingin.
  5. Teman-teman tidak ingin langsung membaca buku yang baru dibeli. Ah, musuh terbesar seorang pembaca dan kolektor buku; tidak langsung membaca buku yang dibeli, tidak peduli jika kita benar-benar ingin membaca buku itu sebelum membeli. Mubazir atau tidaknya, bukan posisi saya untuk menghakimi. Tapi, jika teman-teman tidak ingin langsung membaca buku yang baru dibeli, atau bahkan tidak mau dibaca karena hanya ingin mengoleksi saja, saya rasa tidak masalah. Tidak ada salahnya juga, kok!
Photo by Dương Nhân from Pexels

Kesimpulan

Menurut saya, ketimbang mengingatkan orang untuk membaca, lebih baik kita mengajak orang untuk membaca. Mengutip dari KBBI, mengingatkan memiliki arti memberi ingat; memberi nasihat (teguran dan sebagainya) supaya ingat akan kewajibannya dan sebagainya, yang memilki makna bahwa seseorang wajib melakukan apa yang baru saja diingatkan orang lain. Lain halnya dengan mengajak, begitu kita mengajak seseorang, orang tersebut mempunyai hak untuk menolak, sehingga membaca tidak akan menjadi beban untuk orang-orang yang memang tidak memiliki alasan untuk tetap membaca.

Saya masih memegang prinsip bahwa membaca seharusnya menjadi kegiatan yang menyenangkan dan tidak membawa beban, namun kedok maaf hanya sekadar mengingatkan ini justru membuat stigma baru bahwa seseorang tidak boleh tidak membaca — yang akhirnya membaca akan menjadi aktivitas penuh beban untuk kita.

Pesan saya untuk teman-teman pembaca yang sedang tidak membaca apa-apa; do what makes you happy! Silahkan selesaikan serial televisi kesukaanmu, silahkan berleha-leha seharian. Take care of yourself first, reading can always wait.

--

--