No More Book Buying Ban

Ikram Kiranawidya
4 min readJun 16, 2021

--

Sejak awal tahun kemarin, saya menantang diri untuk menerapkan book buying ban atau tidak membeli buku dalam jangka waktu tertentu. Alasan saya menantang diri sendiri adalah karena keputusan saya untuk menikah dan jumlah buku yang belum dibaca semakin banyak. Berbekal dengan goal untuk harus menyisihkan sebagian penghasilan saya untuk kebutuhan yang lebih penting, perjalanan book buying ban saya pun dimulai.

And here we are, six months later. Ekspektasi yang saya berikan kepada diri sendiri adalah saya berhasil menerapkan book buying ban terhadap diri sendiri. Saya dapat fokus dengan buku yang dipunya terlebih dahulu dengan tidak membeli buku selama 6 bulan ini. Realitanya, saya masih berada di posisi yang sama pada bulan Januari. Buku yang saya punya dan belum saya baca semakin bertambah, saya masih tergiur diskon buku, dan saya merasa overwhelmed.

Setelah melakukan bookish reset kecil-kecilan to help me feeling less overwhelmed, saya menyadari bahwa book buying ban tidak efektif untuk saya. Sekilas, book buying ban terlihat sebagai solusi instan untuk masalah tumpukan buku yang saya punya. Tapi, semakin saya melihat ke belakang, semakin saya menyadari bahwa masalah yang saya punya bukan dari tumpukan buku, melainkan dari diri saya sendiri.

Photo by Sean Benesh on Unsplash

Mekanisme Koping yang Tidak Sehat

Saya mengakui bahwa membeli buku adalah mekanisme koping saya. Saya mengakui membeli buku atau barang lainnya membuat saya bahagia, namun terkadang kebahagian yang saya rasakan bersifat sementara. Begitu saya membeli buku, tidak lama kemudian perasaan bersalah menghantui karena saya menghabiskan sejumlah uang untuk buku yang kemungkinan tidak akan saya baca dalam waktu dekat. There are cluttered things everywhere in my home and it overwhelms me. Lambat laun, untuk mengatasi stress karena kerjaan dan cluttered space dengan adalah membeli buku atau barang lainnya on impulse. And the cycle continues.

Saya menyadari bahwa saya memiliki mekanisme koping yang tidak sehat. Bukannya mengurangi masalah, justru yang saya lakukan membuat masalah baru di kemudian hari. Saya menyadari saya harus mengubah mekanisme koping saya dengan lebih mindful ketika ingin membeli sesuatu — termasuk buku.

The Fear of Missing Out

Saya kira saya bisa mengontrol perasaan FOMO yang saya punya, but what a lie it was! Saya sudah bisa menyaring informasi perbukuan yang saya punya dengan hanya membaca dan mengikuti acara-acara diskusi atau bedah buku yang sesuai dengan minat dan my own North Star, tapi untuk buku yang sedang diskon? Hmmm.

Here’s the scenario; ada diskon sedikit, saya merasa saya harus membeli buku tersebut — apalagi kalau buku yang sedang diskon adalah buku yang sudah saya incar sejak lama. Saya berpikir, mending beli sekarang aja, keburu kehabisan, keburu diskonnya habis, keburu ini itu, keburu… (Too much “keburu” in one thought).

Merubah Pola Pikir

Forget about the book buying ban challenge and focus on changing my mindset. Ketimbang fokus melarang diri untuk tidak membeli buku, saya ingin lebih disiplin dengan diri sendiri dan aware dengan pengeluaran saya sehari-hari. Ketimbang menerapkan book buying ban sebagai solusi untuk mengurangi tumpukan buku, saya bisa mulai mengurangi tumpukan buku dengan mendonasikan buku yang saya tidak tertarik lagi untuk membaca atau yang saya tidak sukai. Ketimbang membatasi berapa jumlah buku yang boleh saya beli dalam sebulan, lebih baik saya mengurangi bujet buku agar uang yang saya punya bisa digunakan untuk kebutuhan yang lain.

Untuk saat ini, saya bisa mencoba menerapkan pola pikir bahwa tumpukan buku yang saya punya tidak seharusnya membuat saya merasa bersalah. Saya bisa mengurangi tumpukan tersebut dengan dua cara; dibaca atau didonasikan.

What I Learnt from Book Buying Ban

Photo by Becca Tapert on Unsplash

Dari pengalaman saya dengan book buying ban, saya justru seperti berkenalan kembali dengan diri sendiri. Saya mengenal limit yang saya punya, hal apa yang harus saya tingkatkan, dan apa yang harus diubah.

  1. Saya selalu menanyakan kepada diri sendiri sebelum membeli buku, apakah saya benar-benar ingin membaca buku ini? Apakah topik dari buku ini sesuai dengan minat saya saat ini? Jika jawabannya tidak, saya akan tinggalkan. Jika jawabannya iya, saya akan lakukan step kedua.
  2. Saya tidak langsung membeli buku tersebut, tapi saya tunggu hingga 3–4 hari. Saya biarkan saja berada di dalam keranjang belanja saya. Selama periode ini, saya akan memperhatikan diri saya sendiri. Apa saya masih kepikiran dengan buku ini atau justru setelah 3 hari saya sudah nggak pingin beli?
  3. Untuk urusan membeli buku, saya tidak lagi meminta opini orang lain. Dulu saya seringkali bertanya apakah saya perlu membeli buku A kepada orang-orang terdekat saya. Jawabannya pun beragam, ada yang iya ada yang tidak. Jangan pernah membiarkan orang lain membuat keputusan soal keuangan untuk kamu, termasuk membeli buku. You are the only one who has control over your own spendings.

Menurut saya, book buying ban kurang efektif untuk dilakukan. Fokus dengan mengubah pola pikir jauh lebih penting ketimbang melarang diri sendiri untuk membeli buku. Saya ingin mengingatkan kembali bahwa membeli buku bisa menjadi stress reliever untuk banyak orang, namun bukan berarti membeli buku menjadi kewajiban kita sebagai seorang pembaca. Kita tetap bisa membaca tanpa membeli buku dengan meminjam buku atau membaca dari platform baca digital. Yang terpenting adalah, kita bahagia dengan apa yang dibaca.

Selamat membaca!

--

--